Bandar Lampung (Biinar.com) – Fraksi Partai Golkar DPRD Kabupaten Tulang Bawang mengutuk keras dugaan aksi pencaplokan tanah warga Gedung Meneng dan Dente Teladas yang dilakukan PT. Sugar Group Companies (SGC). Kecaman tersebut disinyalir merupakan imbas dari kesewenang-wenangan PT. SGC yang tak menetapkan tapal batas meski HGU PT. SGC sudah diperpanjang.
Anggota Fraksi Partai Golkar Kabupaten Tulang Bawang Hi. Munsir mengatakan, PT. SGC secepatnya harus menetapkan tapal batas untuk menghindari gesekan antara masyarakat dengan pihak perusahaan.
“Belum lama ini sebelum diperpanjangnya HGU PT. SGC, seluruh fraksi di DPRD Tulang Bawang mencoba untuk mencari solusi terkait permasalahan lahan masyarakat yang diklaim SGC dengan membentuk Pansus SGC. Namun entah mengapa seiring berjalan waktu Pansus ini rontok, Seluruh fraksi menarik diri. Akibatnya meski HGU SGC saat ini sudah diperpanjang, dugaan penyerobotan lahan ini tetap menjadi polemik di masyarakat,” tegasnya melalui sambungan telpon.
Munsir melanjutkan. Mewakili warga Gedung Meneng dan Dente Teladas khususnya serta masyarakat Tulang Bawang umumnya, dirinya berharap PT. SGC membuka diri untuk menyelesaikan konflik ini. Jika memang ada lahan warga yang dicaplok, segeralah dikembalikan. Jangan menunggu kekesalan masyarakat memuncak, yang berakibat anarkis.
Terpisah, Warga Kecamatan Gedung Meneng Zainudin mengatakan, sudah lama mereka dizolimi SGC. “Tanah keluarga besar kami diklaim menjadi HGU Indo Lampung, anak perusahaan SGC. Ketika kami ingin mengurus sertifikat, Badan Pertanahan setempat tidak bisa memproses. Sebab tanah kami dikatakan oleh BPN menjadi HGU PT. Indo Lampung, ujarnya.
Menurut Zainudin, selama ini aktifitas yang dilakukan perkebunan sekaligus pabrik gula SGC juga merugikan masyarakat. “Ketika SGC melakukan penyemprotan obat, dampaknya merusak tanaman pertanian warga, sehingga banyak tanaman warga yang mati dan tidak produktif,” jelasnya.
Senada diutarakan Warga Kecamatan Dente Teladas Abu Bakar. Menurutnya rumah, tanah kebun, termasuk masjid yang sudah ada puluhan tahun tidak bisa dibuatkan sertifikat. Padahal dirinya membayar pajak bumi dan bangunan setiap tahun. “Keluarga kami hidup rukun dan berkebun serta bermasyarakat di sini, sebelum ada SGC. Kenapa tanah perkebunan kami jadi hilang setelah ada SGC,” keluhnya. (lan)