AMBIGUITAS PENGATURAN KAMPANYE VIA MEDIA SOSIAL

September 3, 2019 | [post-views]
2edbe0b0-160c-42e0-8a31-8484a4f1fb95

(Analisis Peraturan KPU Nomor 4 Tahun 2017 tentang Kampanye Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota)

Oleh: Yanuar Rizal, M.Pd

Staf Bawaslu Provinsi Lampung

 

  1. Pendahuluan

Episode paling menentukan sekaligus ditunggu oleh peserta Pemilihan Kepala Daerah baik Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, maupun walikota dan wakil walikota pasca penetapan oleh KPU ialah masa kampanye. Di masa kampanye inilah pasangan calon maupun partai pendukung, juga tim kampanye dan simpatisan memperkenalkan visi-misi.[1]

Selain menarik simpati calon pemilih sebanyak-banyaknya, kegiatan kampanye di dalam Undang-Undang Pemilihan juga dimaksudkan untuk memberikan pendidikan politik kepada masyarakat. Namun dengan dilaksanakan secara bertanggung jawab.[2] Selebihnya, bagi masyarakat kampanye merupakan momen untuk mengetahui siapa dan apa yang akan dilakukan oleh kontestan ke depan setelah terpilih yang pada gilirannya membuat semakin yakin akan pilihannya.

Banyak cara yang ditempuh oleh peserta Pemilihan dalam berkampanye, salah satunya ialah menggunakan media sosial (social media). Ragam media sosial tersebut antara lain ialah facebook, twitter, instagram, path, dan lain sebagainya. Penggunaan media sosial sebagai sarana untuk berkampanye menjadi sangat penting, hal tersebut tidak  terlepas dari berbagai penelelitian yang salah satunya ialah hasil penelitian We Are Social yang bekerjasama dengan Hootsuite mengungkapkan bahwa  pengguna internet dan pemakai aktif media sosial  di Indonesia telah mencapai angka masing-masing 132,7 juta jiwa dan 130 juta jiwa.[3]  Jumlah yang tidak mungkin untuk dibaikan karena mencapai setengah dari populasi rakyat Indonesia.

            Berdasarkan uraian diatas, selanjutnya menjadi dasar bagi penulis untuk mengajukan 3 (tiga) pertanyaan yang coba dijawab di dalam makalah ini yaitu:

  • Bagaimana pengaturan kampanye di media sosial berdasarkan PKPU kampanye?
  • Apa yang menjadi permasalahan pengaturan kampanye di media sosial?
  • Bagaimana pengaturan kampanye di media sosial pada pelaksanaan pemilihan kepala daerah yang akan datang?

 

  1. Pengaturan Kampanye Media Sosial

Kampanye dengan menggunakan media sosial tidak diatur secara eksplisit di dalam Undang-Undang Pemilihan.  Namun melalui Pasal 65 ayat (1) huruf g Undang-Undang Pemilihan memberikan ruang untuk melaksanakannya[4]. Pasal a quo menyebutkan bahwa: “Kampanye dapat dilaksanakan melalui…g. kegiatan lain yang tidak melanggar larangan kampanye dan ketentuan peraturan perundang-undangan”.

Kemudian melalui Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 4 Tahun 2017 tentang Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota[5] memberikan aturan yang lebih jelas ketimbang apa yang dinormatifkan di dalam Undang-Undang Pemilihan. Pasal 41 huruf f misalnya dengan secara eksplisit menyebutkan bahwa Politik atau Gabungan Partai Politik, Pasangan Calon dan/atau Tim Kampanye melalui media sosial.[6]

Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) itu sendiri memberikan definisi tentang media sosial sebagai  kumpulan saluran komunikasi dalam jaringan internet yang digunakan untuk interaksi dan berbagi konten berbasis komunitas.[7] Itu artinya tidak terbatas pada media sosial mainstream saja seperti facebook dan twitter, namun juga media lainnya yang digunakan oleh masyarakat untuk berinteraksi.

Untuk melaksanakan agenda kampanye dengan menggunakan media sosial pasangan calon, partai politik atau gabungan partai politik maupun tim kampanye diikat oleh beberapa langkah dan ketentuan yang wajib dilaksanakan, yaitu:[8]

  1. Membuat akun media sosial;
  2. Mendaftarkan media sosial ke KPU maksimal 1 (satu) hari sebelum masa kampanye;
  3. Mengisi formulir model BC-4 KWK yang nantinya akan disampaikan kepada beberapa pihak seperti KPU Provinsi Kabupaten/Kota, Bawaslu Provinsi/Kabupaten/kota, kepolisian sesuai tingkatannya, arsip calon;

Menyangkut materi atau konten yang akan digunakan di dalam kampanye “media sosial”  dapat berformat tulisan, suara, gambar, tulisan dan gambar, dan/atau suara dan gambar. Tidak ada aturan teknis mengenai spesifikasi terhadap format yang akan digunakan oleh peserta pemilihan untuk melakukan kampanye di media sosial. Berbeda dengan metode penyebaran APK yang melalui aturan KPU—bahkan ukurannya telah ditentukan. Demikian dapat dipahami bahwa mengenai kampanye di media sosial setiap peserta pemilihan bebas berekspresi dan menciptakan kreatifitasnya sendiri.

Namun dalam melakukan kampanye di media sosial beberapa aturan tetap diberlakukan sebagaimana metode-metode kampanye yang lain seperti kampanye dengan metode tatap muka dan dialog, pertemuan terbatas, penyebaran bahan kampanye maupun pemasangan alat peraga kampanye. Maksudnya tidak boleh melanggar larangan-larangan kampanye yang telah diatur di dalam peraturan perundang-undangan lex spesialis yakni  Undang-Undang Pemilihan.

Lebih jelasnya di media sosial, larangan mempersoalkan dasar negara, pembukaan UUD 1945 masih tetap berlaku yang semua ketentuan itu juga merupakan ketentuan yang diatur di dalam Undang-Undang Pemilihan.[9] Juga apa yang dikenal belakangan ini dengan berita palsu/hoax yang bertujuan untuk mengadu domba atau memfitnah pihak tertentu tetap dilarang.[10] Bahkan apa yang termaktub di dalam Pasal 69 Undang-Undang Pemilihan yang mengatur persoalan larangan-larangan dalam kampanye bagi pelakunya diancam dengan sanksi pidana. Selanjutnya, media sosial yang digunakan dalam kampanye wajib ditutup paling lambat pada 1 (satu) hari setelah masa kampanye berakhir.

  1. Permasalahan PKPU Kampanye di Media Sosial

Terjadi ketidakjelasan dalam pengaturan kampanye di media sosial. Sehingga pada akhirnya tidak hanya menyebabkan kebingungan para penegak hukum di lapangan dalam memberi ganjaran pada pelanggar kampanye tersebut, namun juga telah menyebabkan ambiguitas kampanye dalam arti keseluruhan.

Pertama,  persoalan arti kampanye.  Pasal 1 angka 21 Undang-Undang Pemilihan menyebutkan bahwa  Kampanye Pemilihan adalah kegiatan untuk meyakinkan Pemilih dengan menawarkan visi, misi, dan program Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota.[11]

Tidak jauh berbeda dengan arti kampanye menurut PKPU Kampanye yang merupakan kegiatan menawarkan visi, misi, program Pasangan Calon dan/atau informasi lainnya, yang bertujuan mengenalkan atau meyakinkan Pemilih.

            Kedua pengertian kampanye dari Undang-Undang Pemilihan dan turuannya tersebut tentulah dapat diambil intisari atau unsur yang kegiatan tersebut dapat disebut dengan kampanye, yaitu: Pertama, kegiatan menawarkan visi, misi, dan program peserta Pemilihan. Kedua, untuk tujuan mengenalkan dan meyakinkan Pemilih.

Berlanjut ke persoalan selanjutnya yakni metode kampanye. Antara undang-undang Pemilihan dan PKPU  juga tidak ditemukan adanya perbedaan. Lebih jelasnya dapat dilihat di dalam tabel di bawah ini:

Tabel 1.1

Metode Kampanye dalam Udang-Undang Pemilihan dan PKPU Kampanye

 

Metode Kampanye

(Pasal 65 ayat 1 UU Pemilihan)

Metode Kampanye

(Pasal 5 ayat 2 PKPU Kampanye)

a.    pertemuan terbatas;

b.    pertemuan tatap muka dan dialog;

c.    debat publik/debat terbuka antarpasangan calon;*)

d.    penyebaran bahan Kampanye kepada umum;

e.    pemasangan alat peraga;

f.     iklan media massa cetak dan media massa elektronik; dan/atau

g.    kegiatan lain yang tidak melanggar larangan Kampanye dan ketentuan peraturan Perundang-undangan.

 

a.       pertemuan terbatas;

b.      pertemuan tatap muka dan dialog;

c.       penyebaran Bahan Kampanye kepada umum;

d.      pemasangan Alat Peraga Kampanye; dan/atau

e.       kegiatan lain yang tidak melanggar larangan

f.        Kampanye dan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

 

Sumber: PKPU Kampanye

 

            Berdasarkan tabel 1.1 di atas diketahuilah bahwa persamaan itu sangat identik. Hanya saja pada PKPU coba dipisahkan antara kampanye yang dilakukan oleh oleh partai politik, gabungan partai politik, pasangan calon dan/atau tim kampanye dengan kampanye yang difasilitasi oleh KPU Provinsi/Kabupaten/kota seperti debat publik. Namun tidak sama sekali dengan metode yang digunakan.

            Dari uraian di atas penulis ingin menegaskan bahwa apabila ada calon gubernur dan wakil gubernur, atau partai politik atau gabungan partai politik, atau tim kampanye menawarkan visi, misi, dan program baik di kepada masyarakat secara langsung dengan menggunakan metode tatap muka, maupun menggunakan media sosial melalui video atau gambar dapatlah disebut sebagai “kampanye” atau telah memenuhi pengertian kampanye.

            Namun sayangnya PKPU Kampanye tidak konsisten dalam hal tersebut. Hal itu dapat terlihat bahwa akun media sosial yang didaftarkan untuk kegiatan kampanye berdasarkan Pasal  50 wajib ditutup pada hari pertama masa kampanye, “Partai Politik atau Gabungan Partai Politik, Pasangan Calon dan/atau Tim Kampanye wajib menutup akun resmi di media sosial paling lambat 1 (satu) hari setelah masa Kampanye berakhir”. Itu artinya peserta Pemilihan dapat melakukan kampanye di masa tenang.

            Inkonsistensi itu terlihat terang bilamana kita coba memperhatikan pasal 31 PKPU Kampanye yang berbunyi: “KPU Provinsi/KIP Aceh dan KPU/KIP Kabupaten/Kota berkoordinasi dengan pemerintah daerah dan Bawaslu Provinsi dan/atau Panwas Kabupaten/Kota membersihkan Alat Peraga Kampanye paling lambat 3 (tiga) hari sebelum hari dan tanggal pemungutan suara.”

            APK yang berupa baliho, banner, dan umbul-umbul yang juga merupakan metode kampanye peserta pemilihan harus sudah diturunkan dan dibersihkan sebelum masa tenang. Padahal jika dilihat dari fungsinya sebagai pengenalan visi-misi dan program media sosial justru telah menembus ruang dan waktu serta lebih efektif.

            Selain itu kelemahan dari sisi pengaturan kampanye di media sosial terletak pada tidak adanya kewajiban bagi peserta pemilihan, ketua dan sekretaris partai pendukung, partai pengusung, maupun tim kampanye untuk didaftarkan menjadi akun media sosial untuk berkampanye. Hal tersebut tentu berimplikasi pada—sekali lagi—masa tenang. Orang-orang yang dilarang kampanye melalui metode tatap muka dan dialog, menyebar APK, dan lain-lain tetap bebas melakukan kampanye di media sosial yang justru belakangan ini lebih besar pengaruhnya ketimbang bertatap muka dan bertemu secara langsung.

  1. Penutup

Berdasarkan uraian di atas dapatlah diperoleh jawaban atas pertanyaan yang diuraikan pada sub pendahuluan yakni sebagai berikut:

  • Setiap peserta Pemilihan, Partai Politik, Gabungan Partai Politik, maupun tim kampanye dapat melakukan kampanye di media sosial dengan mendaftarkan media sosial tersebut ke KPU dan wajib dihapus paling lambat 1 (satu) hari setelah berakhirnya masa kampanye;
  • KPU melalui peraturannya belum dapat secara seimbang menempatkan kampanye secara langsung dan kampanye melalui media sosial sehingga tidak terpenuhinya rasa keadilan dan kondusifitas di masa tenang akibat media sosial peserta Pemilihan, Partai Politik, Gabungan Partai Politik, maupun tim kampanye yang tidak didaftarkan ke KPU tetap eksis melakukan serangkaian kegiatan kampanye;
  • KPU dalam aturannya ke depan harus menduduk-samaratakan atau menganggap seimbang antara kampanye di media sosial dan kampanye secara langsung serta memberikan saksi yang tegas.

[1] Lihat pengertian kampanye di dalam Pasal 1 angka 21 Undang Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang (Selanjutnya disebut Undang-Undang Pemilihan).

[2]Lihat Pasal 63 ayat (1) Undang-Undang Pemilihan.

[3]Detikinet, “130 Juta Orang Indonesia Tercatat Aktif di Medsos”  https://inet.detik.com/cyberlife/d-3912429/130-juta-orang-indonesia-tercatat-aktif-di-medsos diakses pada tanggal 23 Juli 2019 pukul 22.05 WIB.

[4]Lihat Pasal 65 ayat (1) Undang-Undang Pemilihan.

[5]Selanjutnya hanya akan disebut dengan PKPU Kampanye.

[6]Pasal 41 PKPU Kampanye menyebutkan Partai Politik atau Gabungan Partai Politik, Pasangan Calon dan/atau Tim Kampanye melaksanakan kegiatan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf e dalam bentuk:…f. kampanye melalui media sosial.  

[7]Lihat Pasal 1 angka 12 PKPU Kampanye.  

[8]Dapat dilihat pada Pasal 47 PKPU Kampanye.

[9]Pasal 68 ayat (1) dari huruf a, b, c, d, e, f, g, h, I, j, dan k.

[10] Pasal 69 Undang-Undang Pemilihan menyebutkan beberapa poin tentang larangan-larangan dalam kampanye, yakni… “Dalam Kampanye dilarang:

  1. mempersoalkan dasar negara Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  2. menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan, Calon Gubernur, Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati, Calon Wakil Bupati, Calon Walikota, Calon Wakil Walikota, dan/atau Partai Politik;)
  3. melakukan Kampanye berupa menghasut, memfitnah, mengadu domba Partai Politik, perseorangan, dan/atau kelompok masyarakat;
  4. menggunakan kekerasan, ancaman kekerasan atau menganjurkan penggunaan kekerasan kepada perseorangan, kelompok masyarakat dan/atau Partai Politik;
  5. mengganggu keamanan, ketenteraman, dan ketertiban umum;
  6. mengancam dan menganjurkan penggunaan kekerasan untuk mengambil alih kekuasaan dari pemerintahan yang sah;
  7. merusak dan/atau menghilangkan alat peraga Kampanye;
  8. menggunakan fasilitas dan anggaran Pemerintah dan Pemerintah Daerah;
  9. menggunakan tempat ibadah dan tempat pendidikan;
  10. melakukan pawai yang dilakukan dengan berjalan kaki dan/atau dengan kendaraan di jalan raya; dan/atau
  11. melakukan kegiatan Kampanye di luar jadwal yang telah ditetapkan oleh KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota.

[11]Lihat Pasal 1 angka 21 Undang-Undang Pemilihan

Tags in